posting populer

Sabtu, 25 Desember 2010

MENGUCAPKAN “SELAMAT NATAL”

Di masa kepemimpinan Buya Hamka, MUI pernah mengeluarkan fatwa larangan mengucapkan apalagi sampai menghadiri perayaannya. Dengan mengucapkan dan menghadiri berarti kita –secara langsung atau tidak- ridha dengan akidah mereka sebab Natal berkaitan dengan keimanan Kristiani. Selain itu, mengaburkan perbedaan prinspil antara Islam dengan Kristen.

Bahwa kita harus saling menghormati sebagai sesama umat beragama bahkan umat non-agama merupakan sebuah keniscayaan namun mencampuradukkan antara hak dan batil adalah hal yang berbeda.

Hingga kini Natal masih menjadi misteri di kalangan umat kristiani sendiri. Sebab natal yang dianggap hari kelahiran Isa atau Yesus masih menyisahkan misteri yang tak tak ada ujung pangkalnya karena ada banyak versi Natal dalam pandangan umat kristiani sebagaimana ditulis oleh Tim FAKTA, “Apakah 25 Desember (zodiac Capriconus) seperti kebanyakan umat Kristen ? Atau 6 Januari (zodiac capriconus) keyakinan Ephipanius dan Gereja Ortodoks Timur ? Atau 19 Januari (zodiac Capriconus) yang diperingati Gereja Armenian ? Atau, versi tanggal 14 Maret (zodiac Pisces), karena Josephus, sejarawan Yahudi, menyatakan Yesus lahir tanggal 14 Maret tahun 4 SM ?...”

Seorang Pastur dari Gereja Worlwide Church of God di Amerika Serikat, Herbert W. Armstrong (1892-1986) dalam bukunya The Plain Truth About Christmas  menyatakan bahwa Nabi Isa a.s. tidak dilahirkan di bulan Desember dan Perayaan Hari Raya Natal bukan ajaran asli gereja melainkan bersumber dari ajaran Paganisme (paham penyembah berhala) yang sudah ada sejak lama, jauh sebelum kelahiran Nabi Isa telah merayakan Hari Kelahiran Dewa Mithra sebagai Dewa Matahari mereka pada tanggal 25 Desember.

Sayangnya, sebagian pihak malah membolehkan mengucapkan selamat natal demi tujuan saling bertoleransi, persaudaraan, dan persahabatan, “Bagi-bagi orang Muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan. Pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan, dan tentu saja tanpa mengorbankan akidah, mengucapkan “Selamat Natal” tentu saja diperbolehkan,” bunyi tulisan di buku Fiqih Lintas Agama.

Toleransi beragama jangan sampai diubah menjadi partisipasi. Toleransi adalah saling menghargai, bukan ikut terlibat dalam perayaan agama orang. Jika ada kebaktian di Gereja atau pemujaan di Wihara, orang Islam tidak boleh mengganggu. Demikian juga sebaliknya. Ini namanya toleransi.

Oleh karena itu, setiap Idul Fitri misalnya, umat Islam tidak pernah mengajak umat agama lain untuk shalat Id, karena memang tidak berkewajiban menjalankan apa yang harus dijalankan oleh umat Islam.

Jika kita mengajak mereka, justru kita yang tidak toleran dan tidak menghargai mereka. Sayangnya yang terjadi pada akhir-akhir ini, justru mereka yang mengajak kita, bahkan ada umat Islam yang dilibatkan dalam kepanitiaan Natal Bersama.

Tidak hanya itu, MUI dianggap tidak toleran karena mengeluarkan Fatwa Natal Bersama. Padahal, MUI hanya mengharamkan umat Islam yang merayakan Natal Bersama, bukan melarang orang Kristen merayakan Natal.