posting populer

Senin, 03 Januari 2011

Prahara di Padang Karbala “Aku sedang Menuju Kematianku…”

“Sungguh mereka pasti akan membunuhku. Mereka tak mungkin membiarkanku. Dan aku takut bila aku terbunuh di Tanah Haram ini, hal itu akan merusak kehormatan Tanah Haram.”
Suatu malam di negeri Mesir, Habib Ali Al-Jufri menuturkan kisah Tragedi Karbala. Peristiwa yang menjadi noda hitam dalam sejarah Islam. Peristiwa yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW Imam Husain, dan hampir seluruh anggota keluarganya, dibunuh secara keji. 

Demi Tuhan, yang mengumpulkan kita semua di malam ini, apa yang terjadi pada Imam Husain adalah konsekuensi dari cobaan dan ujian baginya.

Al-Husain pergi meninggalkan Madinah menuju Makkah. Sebelumnya ia beristikharah, meminta petunjuk Allah SWT, perihal dukungan 17.000 orang yang membai’atnya. Lalu ia memutuskan akan pergi bersama sekelompok pemuda Bani Hasyim, berikut para pengikut dan (keluarga) pendukung mereka dari kalangan wanita dan anak-anak.

Kemudian, Abdullah bin Abbas menjumpai Al-Husain, ia berkata, “Wahai anak putri Rasulullah SAW, benarkah berita yang sampai kepadaku bahwa engkau telah memutuskan akan pergi ke medan jihad itu?”
“Ya,” jawab Al-Husain.

“Bukankah mereka telah mengkhianati ayah dan saudaramu? Tidaklah aku lihat mereka kecuali pasti mengkhianatimu pula,” ujar Ibnu Abbas.

Al-Husain berkata, “Sungguh aku mengetahui bahwa mereka pasti mengkhianatiku.”

Ibnu Abbas bertanya lagi, “Lalu untuk apa engkau keluar, wahai putra Rasulullah?”

Al-Husain berkata, “Sungguh mereka pasti akan membunuhku. Mereka tak mungkin membiarkanku. Dan aku takut bila aku terbunuh di Tanah Haram ini, hal itu akan merusak kehormatan Tanah Haram….”

Akhirnya sampailah Al-Husain dan rombongan di sebuah padang yang luas. Karbala namanya. Dan, di sanalah pembataian itu terjadi. 

Tragedi Karbala terjadi tak terlepas dari rakusnya penguasa zhalim pada kedudukan khalifah secara politis. Namun, apakah pencapaian posisi khalifah secara politis itu adalah segala-galanya?
Inilah antara lain pandangan Habib Umar Bin Hafidz.

Dalam kitab Al-Mustadrak ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi, “Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang bilang kepadanya, ‘Orang-orang mengatakan, Tuan menginginkan khilafah.’

Al-Hasan berkata, ‘Aku meninggalkan jabatan khilafah di saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi, dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah itu) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin….’.”

Dalam konteks ini, mundur dari khilafah saat terjadinya perpecahan adalah khilafah sejati. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Dengan perantaraannya, Allah akan mendamaikan permusuhan di antara dua kubu besar kaum muslimin.” (HR Al-Bukhari).

Intinya, sikap Al-Hasan dan Al-Husain benar sesuai konteks masalah yang mereka hadapi. Selengkapnya tentang drama pembantaian dalam Tragedi Karbala dan pandangan-pandangan Habib Umar, baca alKisah edisi 25/2010.

Minggu, 02 Januari 2011

Selamatkan Jogja dengan Taubat, bukan dengan tumbal

bencana_merapiSedih ... sakit ... rasanya! Melihat ulah sebagian manusia Yogyakarta. Belum genap sebulan kita diberi peringatkan Allah, dengan meletusnya gunung teraktif di indonesia yaitu gunung merapi. Di mana tidak sedikit korban yang berjatuhan, harta benda yang hangus oleh dahsyatnya merapi. Yang semua musibah ini ada yang mengaturnya yaitu Allah. Dan musibah ini mungkin adalah teguran dari-Nya, untuk kita. Semua itu terjadi karena dosa kita.
Tapi saudaraku, apa yang kalian lakukan?
Bertaubatkah?!
Mohon ampunkah?!
Tidak ...
Tapi justru sebaliknya kalian kembali menantang kuasa-Nya.
***
Paguyuban Kebatinan Tri Tunggal (PKTT) Yogyakarta menggelar ritual tolak bala pada Senin (8/11/2010) malam. Ritual tersebut dimaksudkan agar warga Yogyakarta dan sekitarnya terhidar dari mara bahaya akibat letusan Merapi.
Ritual yang dipusatkan di sekitar kawasan Tugu ini diawali dengan mengarak kerbau bule. Mengambil start di SMPN 6 Terban Yogyakarta, iringan-iringan puluhan anggota PKTT menyusuri Jl Sudirman, sebelum akhirnya memulai berbagai acara ritual di Perempatan Jl Sudirman-Mangkubumi-AM Sangaji.
Acara dimulai dengan tari Bedoyo yang dipentaskan dengan elok oleh sembilan penari. Alunan gamelan serta semerbak harum dupa membuat semua yang ada di tempat tersebut larut dalam suasana.
Puncak acara diisi dengan pemotongan seekor Kerbau Bule dan sembilan ayam jago Jurik Kuning sebagai sesaji. Selain itu ada juga getuk lindri dengan bentuk boneka manusia yang berjumlah 99.
Sombo, Anggota PKTT menuturkan, sesaji merupakan simbol manusia dan alam sekitarnya. ”Ritual ini diharapkan dapat terjadi harmonisasi antara manusia dan alam,” katanya.
Kepala kerbau dan sembilan jago Jurik Kuning, rencananya akan dibawa ke lereng Merapi untuk ditanam di sana malam ini juga. "Daging badannya akan dibagikan pada warga," kata Wahadi, anggota lain dari Seyegan. (Dikutip dari kompas.com)
Inikah taubat?!
Sadarlah saudaraku!
Bukti Itu adalah Kesyirikan
Coba kita perhatikan firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. al-An’aam: 162-163).
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanlah.” (QS. al-Kautsar: 2).
Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.” (HR. Muslim no. 1978)
Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya.
Syirik adalah dosa besar yang dapat menimbulkan murkaNya. Jadi bukan keselamatan, keamanan yang akan diperoleh. Tapi sebaliknya. Orang yang mentauhidkan Allah dengan hanya memohon dan beribadah kepada Allah semata, merekalah yang mendapatkan keselamatan.
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman
(yaitu syirik) maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah
." ( QS. Al-An'aam: 82 )
Tak takutkah kita dengan murka-Nya yang lebih besar?
Saudaraku ... sadarlah
Bukan dengan sesaji kita akan selamat
Bukan dengan maksiat
Tapi kita berharap Allah menyelamatkan kita dengan bertaubat pada-Nya
Menjalankan perintah-Nya
Menjauhi larangan-Nya
Takutlah pada syirik karena begitu bahaya dosa tersebut sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’: 48)
Saudaraku ... Solusinya adalah Taubat
‘Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu- di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Jangan semakin membuat Allah murka dengan kesyirikan yang kita perbuat. Hujan abu tidak akan usai jika malah Allah dibalas dengan disekutukan dengan selain-Nya.
Semoga uraian singkat ini bisa menjadi jalan hidayah-Nya untuk kita semua, untuk kembali menata Yogyakarta dengan bertaubat bukan dengan maksiat atau kesyirikan. Aamiin.

Artikel www.rumaysho.com

Wanita yang berpakaian tapi telanjang....sadarlah!!!!

Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini. Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.

Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)
Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ....
Baca artikel selanjutnya "Syarat-syarat Pakaian Muslimah yang Sempurna"

***

Artikel http://rumaysho.com

afdhol Mana? Kumis di cukur habis Atau dipendekkan?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Mengenai jenggot sudah amat jelas bahwa jenggot sama sekali tidak boleh dicukur atau dipendekkan. Lihat bahasan kami di sini. Lalu bagaimanakah dengan kumis? Apakah lebih bagus dipendekkan atau dicukur habis? Pembahasan ini akan menjawabnya dengan menukil perkataan ulama dan berbagai dalil yang menguatkan. Semoga manfaat.
Syaikh Al Albani berkata dalam kitab Adabuz Zifaf, ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “أنهكوا الشوارب” , yang dimaksud adalah memendekkan kumis. Kata ini semakna dengan kata “جزوا”. Hal ini berarti memendekkan kumis secara sungguh-sungguh, yaitu memendekkan kumis yang telah melebihi bibir. Bukan yang dimaksud di sini adalah mencukur habis kumis tersebut karena perbuatan semacam ini menyelisihi sunnah (ajaran) Nabi yang shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dicontohkan melalui perbuatan beliau. Oleh karena itu, Imam Malik pernah ditanya mengenai orang yang mencukur habis kumisnya. Beliau rahimahullah menjawab,
أرى أن يوجع ضربا وقال لمن يحلق شاربه : هذه بدعة ظهرت في الناس
Aku beranggapan bahwa orang yang melakukan seperti itu lebih pantas untuk diberi hukuman yaitu dipukul.” Beliau mengatakan lagi terhadap orang yang mencukur habis kumisnya, “Ini adalah perbuatan bid’ah yang nampak di tengah-tengah manusia.” (Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Lihat Fathul Bari 10/285-286). Oleh karena itu, Imam Malik terlihat memiliki kumis yang lebat[1].
Ketika Imam Malik ditanya mengenai mencukur habis kumis, beliau berkata, “Zaid bin Aslam telah menceritakan kepadaku, dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Az Zubair, bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ketika ia marah, ia memotong kumisnya (artinya, tidak mencukur habis, pen), dan beliau meniupnya. (Dikeluarkan oleh Ath Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir dengan sanad yang shahih).
Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam tarikhnya dan Al Baihaqi bahwa lima orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka memiliki kumis yang lebat dan tampak ujung bibirnya. (Sanad riwayat ini hasan)
Abul Walid Al Baaji dalam Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’ (7/266) berkata, “Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Hakam dari Malik, ia berkata, “Bukanlah yang dimaksud ‘ihfausy syarib’ adalah mencukur habis kumis. Aku menganggap orang yang mencukur habis kumis adalah orang yang tidak beradab.” Diriwayatkan pula dari Asy-hab dari Malik, beliau berkata, “Mencukur habis kumis termasuk bid’ah.”
An Nawawi dalam Al Majmu’ (1/340-341) berkata, “Cara memendekkan kumis adalah memendekkanya hingga nampak ujung bibir. Dan janganlah mencukur habis dari akarnya. Inilah yang menjadi pendapat kami.”
Dalam kitab Al Majmu’ juga (1/340), An Nawawi berkata, “Riwayat yang menyatakan “أحفوا..أنهكوا..الشوارب” dimaknai memendekkan kumis tersebut hingga nampak ujung bibir. Jadi kumis tersebut bukanlah dicukur habis dari akarnya.”
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj (8/148), Ar Romli mengatakan, “Dimakruhkan mencukur habis kumis”.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dalam Majmu’ Al Fatawa (Bab Siwak dan Sunnah Fitroh, 11/54) berkata, “Yang lebih afdhol adalah memendekkan kumis sebagaimana yang dimaksudkan dalam As Sunnah. Sedangkan mencukur habis kumis bukanlah bagian dari sunnah. Memang sebagian ulama menganalogikan (mengqiyaskan) dengan pensyariatan mencukur habis rambut kepala ketika manasik haji. Sebenarnya, ini adalah qiyas yang bertentangan dengan nash (dalil) sehingga tidak teranggap. Imam Malik pernah mengatakan tentang orang yang mencukur habis kumisnya, “Ini adalah bid’ah yang sudah nampak di tengah-tengah manusia.” Janganlah seseorang berpaling dari sunnah (ajaran) yang ada. Ingatlah dengan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada, maka petunjuk, kemaslahatan, dan kebahagiaan pasti akan digapai.”
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi, Al Lajnah Ad Daimah lil Ifta’ ditanya,
"Telah disebutkan dalam beberapa hadits “قصوا الشارب”, apakah yang dimaksud “الحلق” (mencukur habis) berbeda dengan “القص” (memendekkan)? Sebagian orang memendekkan dari ujung kumis hingga nampak bibir atas dan ia sisakan sebagian kumisnya. Atau dapat dikatakan bahwa ia mencukur separuh kumisnya dan meninggalkan separuhnya lagi. Apakah seperti itu maksudnya? Atau yang dimaksud adalah mencukur habis kumis tersebut? Aku sangat mengharapkan jawaban tentang masalah memendekkan kumis ini.”
Para ulama yang duduk di sana menjawab, “Berbagai hadits shahih menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan memendekkan kumis. Di antara hadits tersebut adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
قَصُّوْا الشَوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِحَى ؛ خَالِفُوْا المُشْرِكِيْنَ
Pendekkanlah kumis, biarkanlah jenggot, selisilah orang-orang musyrik.” Yang dimaksud “أحفوا الشوارب” adalah bersungguh-sungguh memendekkan. Jika ada yang memendekkan kumis hingga nampak bibir bagian atas atau ia memendekkannya lagi, maka tidaklah mengapa. Karena hadits menerangkan dua cara ini. Jangan sekali-kali kumis itu dibiarkan. Namun hendaklah dipendekkan seluruhnya atau benar-benar dipendekkan. Hal ini dalam rangkan mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi, dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud.  Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 5/149)[2]
Dari sini dapat kita lihat bahwa kumis bukanlah dicukur habis. Yang sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kumis itu hanya dipendekkan hingga nampak ujung bibir bagian atas. Jika seseorang mencukur habis kumisnya hingga akar, maka ia menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebenarnya bukan mencukur habis kumis yang dianggap parah. Yang kita anggap lebih parah adalah kelakuan para pria saat ini, yaitu mencukur habis JENGGOT dan membiarkan kumis memanjang hingga menutupi bibir. Sungguh, kondisi terakhir ini yang sebenarnya lebih parah. Semoga Allah beri taufik pada orang-orang semacam itu kepada Al Haq.
Baca keterangan selengkapnya tentang hukum mencukur JENGGOT di rumaysho.com dalam tiga artikel:
  1. Perintah Nabi agar Memelihara Jenggot.
  2. Hukum Memangkas Jenggot.
  3. Menjawab Sedikit Kerancuan Seputar Jenggot.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


[1] Namun tentu tidak sampai menutupi bibir beliau.
[2] Tulisan ini hasil kajian dari web http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=369680

manakah Aurat Lelaki?

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Aurat artinya sesuatu yang tidak boleh dilihat orang lain. Sering kita dengar pembahasan mengenai aurat wanita. Namun mungkin sedikit atau jarang sekali kita mendengar pembahasan aurat para lelaki. Sering kita lihat bagaimana sebagian pria menampakkan paha atau membuka aurat lainnya. Lalu manakah batasan aurat pria yang terlarang dilihat oleh orang lain? Moga Allah memudahkan dalam membahas hal ini.
Aurat Sesama Lelaki
Aurat sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.[1]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil dengan riwayat bahwa Al Hasan bin ‘Ali radhiyallhu ‘anhuma pernah menampakkan auratnya lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menciumnya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرُّكْبَةُ مِنَ الْعَوْرَةِ
Lutut termasuk ‘aurat.[2] Namun hadits ini adalah hadits yang dho’if.
Apa saja yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما فوق الرّكبتين من العورة ، وما أسفل السّرّة وفوق الرّكبتين من العورة
Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.[3] Namun riwayat ini dho’if.
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa aurat lelaki sesama lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.
Apakah Benar Paha Termasuk Aurat?
Sebagian ulama memang berpendapat bahwa paha tidak termasuk aurat, artinya boleh ditampakkan. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah (Ibnu Hazm, cs).[4] Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah berikut ini:
Anas bin Malik berkata,
وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang putih.[5]
Syaikh Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan hadits di atas, beliau hafizhohullah berkata, “Hadits di atas dimaksudkan bahwa sarung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersingkap dengan sendirinya, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyingkapnya sendiri dan beliau juga tidak menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam Shahihain yang menyatakan “فانحسر الإزار”, artinya sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya.”[6]
Dalil lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ ...
('Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau ....”
Syaikh Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil bahwa paha bukan termasuk aurat berdalil dengan hadits di atas, di mana beliau berkata,
Tidak bisa kita mempertentangkan hadits yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat bagi pria dengan hadits-hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan semakin penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat Muslim suatu pertentangan, di mana perowi mengatakan paha dan betisnya. Di riwayat lain dikatakan dengan lafazh “كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ”, beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.[7]
Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah ini, paha adalah aurat. Itulah yang lebih rojih (kuat) berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas.
Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 31)
Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu Salamah, ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».
"Aku berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda, "Berhijablah kalian berdua darinya." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam balik bertanya: "Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?"[8] [Riwayat ini adalah riwayat yang dho’if, lemah]
Abu Daud berkata, "Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum! Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkata kepada Fatimah binti Qais, 'Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di sisinya."[9]
Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh  bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun ‘alaih. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata;
رَأَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
"Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda."[10]
Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu a’lam.
Aurat Lelaki di Hadapan Istri
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dho’if. Hadits tersebut adalah,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.[11]
Akhir Tulisan: Nasehat bagi Penggemar Bola dan Penggemar Renang
Jika kita sudah mengetahui manakah aurat lelaki, ada satu hal yang mesti kami ingatkan tentang tersebarnya kekeliruan di tengah masyarakat mengenai aurat lelaki ini. Yaitu seringkalinya kita melihat para pria buka-bukaan aurat, baik paha yang disingkap –seperti ketika main bola- atau sengaja menyingkap bagian aurat lainnya –mungkin saja ketika renang- dengan hanya memakai –maaf- ‘celana dalam’. Ini sungguh kekeliruan. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim no. 338). Artinya, orang yang sengaja buka aurat telah bermaksiat. Aurat sesama pria tentu saja tidak boleh dilihat, lantas bagaimanakah dengan menonton pertandingan bola yang jelas sekarang ini sering menampakkan paha karena celana yang digunakan begitu pendek?!
Nasehat ini sebenarnya untuk semua yang sering menampakkan auratnya di hadapan yang lainnya, bukan hanya untuk penggemar bola dan renang saja.
Wabillahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Referensi utama: Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 31/50-53.

www.rumaysho.com
Prepared for several days in Riyadh-KSA, on 23rd Muharram 1432 H (29/12/2010)
By: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan
[2] HR. Ad Daruquthni 1/506. Dalam hadits ini terdapat Abul Janub dan dia termasuk perowi yang  dho’if.
[3] HR. Al Baihaqi 2/229 dan Al Jaami’ Ash Shogir 7951. Dalam hadits ini terdapat Sa’id bin Abi Rosyid Al Bashri dan ia termasuk perowi yang dho’if.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah, 3/7.
[5] HR. Bukhari no. 371 dan Muslim no. 1365.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, 3/7.
[7] Shahih Fiqh Sunnah, 3/8.
[8] HR. Abu Daud no. 4112, At Tirmidzi no. 2778, dan Ahmad 6/296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[9] Lihat Sunan Abi Daud Bab “Firman Allah Ta’ala: وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ “.
[10] HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892.
[11] HR. Ibnu Majah no. 1921. Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Mandal dan ia dho’if (Mukhtashor Al Bazzar, 1/579). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.

Bukan Pria Idaman

Manusia idaman sejati adalah makhluk langka. Begitu banyak ujian dan rintangan untuk menjadi seorang idaman sejati. Kebalikannya, yang bukan idaman malah tersebar ke mana-mana. Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Siapakah pria yang tidak pantas menjadi idaman dan tambatan hati? Apa saja ciri-ciri mereka? Mudah-mudahan -dengan izin Allah- kami dapat mengungkapkannya pada tulisan yang singkat ini.

Ciri Pertama: Akidahnya Amburadul

Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak, maka dukun pun bertindak. Jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. Ingain buka usaha pun ia memakai pelarisan. Jika berencana nikah, harus menghitung hari baik terlebih dahulu. Yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah mempercayai ramalan bintang agar semakin PD dalam melangkah.
Inilah ciri pria yang tidak pantas dijadikan idaman. Akidah yang ia miliki sudah jelas adalah akidah yang rusak.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman.” (Al Fawaid)
Berarti jika aqidah dan iman seseorang rusak -padahal itu adalah pokok atau pondasi-, maka bangunan di atasnya pun akan ikut rusak. Perhatikanlah hal ini!

Ciri Kedua: Menyia-nyiakan Shalat

Tidak shalat jama'ah di masjid juga menjadi ciri pria bukan idaman. Padahal shalat jama'ah bagi pria adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam al Qur'an dan berbagai hadits. Berikut di antaranya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».
Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama'ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”. Rasulullah bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.” (HR. Muslim). Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».
Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!
Imam Asy Syafi'i sendiri mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107)
Jika pria yang menyia-nyiakan shalat berjama'ah di masjid saja bukan merupakan pria idaman, lantas bagaimana lagi dengan pria yang tidak menjalankan shalat berjama'ah sendirian maupun secara berjama'ah?!
Seorang ulama besar, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.

Ciri Ketiga: Sering Melotot Sana Sini

Inilah ciri berikutnya, yaitu pria yang sulit menundukkan pandangan ketika melihat wanita. Inilah ciri bukan pria idaman. Karena Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".” (QS. An Nur: 30)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya.
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Boleh jadi laki-laki tersebut jika telah menjadi suami malah memandang lawan jenisnya sana-sini ketika istrinya tidak melihat. Kondisi seperti ini pun telah ditegur dalam firman Allah,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir: 19)
Ibnu 'Abbas ketika membicarakan ayat di atas, beliau mengatakan bahwa yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seorang yang bertamu ke suatu rumah. Di rumah tersebut ada wanita yang berparas cantik. Jika tuan rumah yang menyambutnya memalingkan pandangan, maka orang tersebut melirik wanita tadi. Jika tuan rumah tadi memperhatikannya, ia pun pura-pura menundukkan pandangan. Dan jika tuan rumah sekali lagi berpaling, ia pun melirik wanita tadi yang berada di dalam rumah. Jika tuan rumah sekali lagi memperhatikannya, maka ia pun pura-pura menundukkan pandangannya. Maka sungguh Allah telah mengetahui isi hati orang tersebut yang akan bertindak kurang ajar. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (12/181-182).
Ibnu 'Abbas mengatakan, “Allah itu mengetahui setiap mata yang memandang apakan ia ingin khianat ataukah tidak.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid dan Qotadah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 12/182, Darul Qurthubah)

Ciri Keempat: Senangnya Berdua-duaan

Inilah sikap pria yang tidak baik yang sering mengajak pasangannya yang belum halal baginya untuk berdua-duaan (baca: berkhalwat). Berdua-duaan (khokwat) di sini bisa pula bentuknya tanpa hadir dalam satu tempat, namun lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via FB dan lainnya. Seperti ini pun termasuk semi kholwat yang juga terlarang.
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Ciri Kelima: Tangan Suka Usil

Ini juga bukan ciri pria idaman. Tangannya suka usil menyalami wanita yang tidak halal baginya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun ketika berbaiat dan kondisi lainnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.
Dari Abdulloh bin ‘Amr, ”Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita ketika berbaiat.” (HR. Ahmad dishohihkan oleh Syaikh Salim dalam Al Manahi As Syari’ah)
Dari Umaimah bintu Ruqoiqoh dia berkata, ”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan para wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Malik dishohihkan oleh Syaikh Salim Al Hilaliy)
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)

Ciri Keenam: Tanpa Arah yang Jelas

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Seseorang dianggap telah berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996)
Berarti kriteria pria idaman adalah ia bertanggungjawab terhadap istrinya dalam hal nafkah.
Sehingga seorang pria harus memiliki jalan hidup yang jelas dan tidak boleh ia hidup tanpa arah yang sampai menyia-nyiakan tanggungannya. Sejak dini atau pun sejak muda, ia sudah memikirkan bagaimana kelak ia bisa menafkahi istri dan anak-anaknya. Di antara bentuk persiapannya adalah dengan belajar yang giat sehingga kelak bisa dapat kerja yang mapan atau bisa berwirausaha mandiri.
Begitu pula hendaknya ia tidak melupakan istrinya untuk diajari agama. Karena untuk urusan dunia mesti kita urus, apalagi yang sangkut pautnya dengan agama yang merupakan kebutuhan ketika menjalani hidup di dunia dan akhirat. Sehingga sejak dini pun, seorang pria sudah mulai membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup untuk dapat mendidik istri dan keluarganya.
Sehingga dari sini, seorang pria yang kurang memperhatikan agama dan urusan menafkahi istrinya patut dijauhi karena ia sebenarnya bukan pria idaman yang baik.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa sebagai petunjuk bagi para wanita muslimah yang ingin memilih laki-laki yang pas untuk dirinya. Dan juga bisa menjadi koreksi untuk pria agar selalu introspeksi diri. Nasehat ini pun bisa bermanfaat bagi setiap orang yang sudah berkeluarga agar menjauhi sifat-sifat keliru di atas. Semoga Allah memudahkannya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Sabtu, 01 Januari 2011

Perpisahan Termanis

Dulu aku datang dengan segudang asa

kini aku harus pamit untuk menjemput impian

Tak ada yang abadi di dunia

Segalanya mesti berubah

Terima kasih sudah menjadi teman baiku

Terima kasih sudah menjadi sobat karibku

Terima kasih sudah menjadi bagian dari jalan hidupku

Maafkan semua kesalahanku

Maafkan segala kekuranganku

Tak ada yang mesti ditangisi

Karena aku tidak akan jauh

Teman, sahabat, tetaplah mengingat setiap kenangan indah yang telah kita lewati

Lupakan kepahitan atas kesalahpahaman kita..

Sampai Jumpa dilain waktu