posting populer

Sabtu, 25 Desember 2010

Mencintai Keluarga Nabi Oleh: Sayyid Abdul Qadir Umar Mauladdawilah

Dari Abi Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, “Ya Rasulullah bagaimana cara kami membaca shalawat kepadamu?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bacalah: Ya Allah, mudah-mudahan engkau selalu mencurahkan shalawat kepada Muhammad, para istri dan keturunannya” Setelah meneliti dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis, Asy-Syeikh DR. Muhammad Abduh Al-Yamani menyimpulkan bahwa keluarga Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam terdiri dari Fatimah, Ali, Hasan, Husein dan para keturunannya. Sedangkan istri Rasulullah juga merupakan keluarga Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdasarkan keumuman ayat Al-Qur’an serta konteks hadis. Sebagaimana dalam hadis tentang anjuran membaca shalawat kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, istri dan keluarga beliau.
Dari Abi Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu, beliau bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, “Ya Rasulullah bagaimana cara kami membaca shalawat kepadamu?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bacalah: Ya Allah, mudah-mudahan engkau selalu mencurahkan shalawat kepada Muhammad, para istri dan keturunannya”. Selanjutnya anjuran untuk menghormati dan memuliakan keluarga Rasulullah beserta keturunannya adalah perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Sebagaimana dalam hadis: Dari Abi Sa’id al-Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keluargaku”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal, selama kalian berpegang teguh dengan dua hal tersebut, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah keturunanku (ahlil baitku). Sungguh keduanya tak akan terpisahkan selamanya hingga mereka datang kepadaku di telagaku kelak.” Keturunan rasul atau juga disebut ahlul bait selalu berjalan seiring dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Mereka tidak pernah segaris pun meyimpang dari Al-Qur’an dan Al-Hadis. Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, seorang tokoh panutan bani ‘alawi, berkata tentang keturunan rasul ini “Mereka adalah para kaum yang telah diberi hidayat oleh Allah, mereka telah beruntung dengan karunia Allah, mereka tidak pernah bertujuan kepada selain Allah dan mereka selalu berjalan seiring bersama dengan Al-Qur’an.” Maka sudah sepantasnya bagi kita segenap umat Islam untuk mencintai dan menghormati mereka para keluarga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam beserta keturunannya. Yang kecintaan ini sudah diteladankan dan menjadi tradisi para ulama yang telah mengamalkan ilmunya dan para auliya’ Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka selalu menghormati, mencintai serta berpegang teguh kepada keluarga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasalam. Meskipun begitu apabila kita menemukan dari keturunan rasul yang menyimpang, sebagai bentuk rasa cinta kepada mereka kita wajib beramar ma’ruf nahi munkar. Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri membedakan antara ta’dhim dan amar ma’ruf nahi munkar. Terhadap para dzuriyat rasul kita memang dianjurkan untuk ta’dhim, tetapi jika mereka melakukan kesalahan perlu diingatkan. Jika tidak maka kita ikut berdosa karena tidak beramar ma’ruf nahi munkar! Al-Imam Ahmad Al-Muhajir Pada abad ke 4 hijriah merupakan masa yang paling gelap dalam sejarah Islam. Di kalangan muslimin umat terpecah-belah menjadi beberapa kelompok, di antaranya: Sunni, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan lain-lainnya. Belum lagi datangnya kelompok Zanji di Bashrah, yang banyak menimbulkan kekacauan dan kerusakan di segala bidang. Disebutkan, bahwa ketika terjadi serangan dari kelompok Zanji ribuan warga Bashrah terbunuh dalam tiap harinya. Ditambah lagi kehadiran kaum Qaramitha pada tahun 310 H yang telah menjadikan Kota Bashrah semakin mencekam. Pada masa itu sejarah mencatat, bahwa pada tahun 930 M kaum Qaramitha masuk dan menyerang kota suci Makkah, bahkan Hajar Aswad berhasil dijebol dan dirampok dari tempat asalnya dan berada di tangan kaum Qaramitha selama 23 tahun. Suasana Makkah dan Madinah saat itu sangat mencekam, pembunuhan terjadi di berbagai penjuru kota. Dalam keadaan seperti itulah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir meninggalkan tanah kelahirannya untuk menyelamatkan akidahnya, serta bagi generasi keturunan berikutnya. Beliau memilih Hadramaut, sebuah negeri miskin yang tandus sebagai tempat hijrahnya demi untuk menyelamatkan akidah dan agamanya. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir merupakan sesepuh dari seluruh keturunan ba’alawi. Beliau memiliki jasa yang sangat besar bagi semua anak cucunya. Sebab beliau rela meninggalkan tanah air dan kekayaannya untuk menyelamatkan akidah dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ketika masuk ke Hadramaut beliau melalui arah negeri Yaman. Beliau menggunakan metode dakwah dengan akhlak yang lembut dan luwes. Tidak sedikit dari kaum khawarij yang dulunya bersifat brutal, akhirnya menyatakan taubat di hadapan beliau. Menurut sumber sejarah yang shahih dikatakan bahwa Madzhab Khawarij merupakan madzhab yang paling banyak dianut masyarakat di Hadramaut kala itu. Mereka saling berebut pengaruh dengan kelompok Zaidiyah. Namun, dengan keluasan ilmu dan keberanian Al-Imam Ahmad Al-Muhajir, beliau berhasil mengajak para pengikut khawarij untuk menganut Madzhab Syafi’i dalam fikih dan ahlussunnah wal jama’ah dalam akidah. Dan sebelum abad 7 hijriah berakhir, Madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari Hadramaut dan Madzhab Ahlussunnah wal jama’ah diterima oleh seluruh penduduknya. Di Hadramaut sendiri akidah dan madzhab Imam Ahmad Al-Muhajir adalah sunni syafi’i dan ini terus berkembang sampai sekarang tanpa berkurang sedikitpun. Hadramaut kini menjadi kiblat kaum sunni yang ideal terutama bagi kaum alawiyin, karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan akidahnya. Ini dapat dilihat bagaimana amalan mereka dalam bidang ibadah yang tetap berpegang pada Madzhab Syafi’i, seperti pengaruh yang telah mereka tinggalkan di nusantara ini. Dalam bidang tasawwuf 15, meskipun ada nuansa Ghazali, namun di Hadramaut menemukan bentuknya yang khas yaitu tasawwuf sunni salaf 16 alawiyin yang sejati. Dari Hadramaut inilah anak cucu Al-Imam Al-Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke ufuk timur, diantaranya ke daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, ijma dan qiyas. Prof. Dr. Hamka mengatakan, “Tidak layak untuk tidak mengetahui bahwa Alawiyin Hadramaut berpegang teguh pada Madzhab Syafi’i. Bahkan yang mengokohkan madzhab ini di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa, adalah para Ulama Alawiyin Hadramaut.”
Thariqah Yang Damai Thariqah Alawiyah adalah sebuah metode, sistem atau cara yang digunakan oleh bani ‘alawi dalam perjalanannya menuju Allah ‘azza wa jalla. Thariqah ini menjadi semakin istimewa karena diwarisi dari leluhurnya yang tiada lain adalah anak cucu Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam . Thariqah Alawiyah ini dicetuskan pertama kalinya oleh Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf. Thariqah Alawiyah sebagai peneladanan yang sempurna terhadap Rasul, keluarga serta para sahabat beliau dengan sebenar-benarnya peneladanan. Imamul Haddad, tokoh ‘alawi abad 17 M menjelaskan secara singkat tentang Thariqah Alawiyah dalam nasehatnya: “Lazimkanlah selalu Kitabullah (Al-Qur’an) dan ikutilah sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam dan teladanilah para salaf, niscaya Allah akan memberimu hidayahNya. Thariqah ini juga disebut sebagai ahlussunnah wal jama’ah. Ahl berarti keluarga, golongan atau pengikut. As-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam. Al-Jama’ah yaitu apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wasalam pada masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun20. Jadi ahlussunnah wal jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alahi wasalam, keluarga dan para sahabatnya. Thariqah Alawiyin adalah thariqah pemersatu umat Islam secara keseluruhan. Thariqah ini tidak pernah mengenal permusuhan, tidak menyebarkan kedengkian, tidak mengajarkan kebencian, tidak membalas cacian dengan cacian, melainkan sebagai penyebar rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Disebutkan bahwa suatu waktu Al-Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib berjalan bersama putranya, tiba-tiba mereka dihadang oleh seseorang, lalu orang tersebut mencaci-maki Sayyidina Hasan bahkan mencaci ayah dan Ibunya (Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayidatuna Fatimah Az-Zahra). Putra Sayyidina Hasan tidak tahan terhadap makian tersebut dan menegur ayahnya, “Wahai ayahku, kenapa engkau tidak membalas makian orang tersebut?, sedang engkau memiliki hak untuk membalas makian tersebut wahai ayah”. Maka sang ayah memandang kepada anaknya dan berkata menasehatinya: “Wahai anakku, sejak kapan engkau pernah mendapati ayahmu atau kakekmu menjadi seorang pencaci?” Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah hadir dalam suatu peperangan dimana orang musyrikin banyak membantai kaum muslimin, salah seorang sahabat berkata kepada beliau: “Ya Rasulullah, laknatlah mereka orang-orang musyrikin karena telah membantai saudara-saudara kita” Rasulpun menjawab: “Aku diutus oleh Allah bukan sebagai pencaci ataupun pelaknat, sesungguhnya aku diutus oleh Allah sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta ini (rahmatan lil ‘alamin).” Demikianlah apabila seseorang mengenal, mempelajari dan menjalani thariqah ini dengan benar maka menyebabkan orang untuk saling memaafkan dan berbuat baik, sehingga menumbuhkan persatuan di kalangan muslimin. (Dikutip dari buku “17 Habaib Berpengaruh di Indonesia”)